Pemberitaan Firman

PENDAHULUAN

Amanat agung merupakan bagian penting dalam kehidupan kekristenan atau gereja. Salah satu faktor pertumbuhan gereja (secara kuantitatif) adalah dengan melaksanakan amanat agung. Gereja yang melaksanakan amanat agung merupakan gereja yang dinamis, terus bertumbuh dan berkembang. Selain itu, amanat agung merupakan hakikat dari tugas dan panggilan gereja dalam dunia yang tidak boleh diabaikan. Ini merupakan tugas yang tidak dapat ditolak oleh semua orang Kristen, karena sesuai dengan sifatnya, yakni sebuah amanat yang datangnya dari Yesus. Amanat agung secara sederhana sering diartikulasikan dengan kegiatan penginjilan atau misi. Dan tidak jarang juga, sebagai konsekuensinya ini diatribusikan dengan pekerjaan para misionaris, yang pergi ke daerah-daerah pedalaman tertentu dengan mengadakan penginjlian sebagai bentuk langsung dari amanat agung itu sendiri. Amanat agung diasumsikan sebagai kegiatan pergi menginjili atau membuat orang menjadi percaya kepada Tuhan Yesus, dan sebagai buah atau hasil pelayanan itu orang tersebut menjadi bertobat, yang secara teknis diartikulasikan dengan berpindah agama. Hal tersebut tidaklah salah, karena kegiatan amanat agung secara prinsip adalah membuat seseorang percaya kepada Yesus sebagai Tuhan, sebagai syarat keselamatan hidupnya.

Konsep amanat agung dalam Matius 28:19-20 juga perlu dikaji dan dipahami ulang dalam konteks yang lebih kekinian, agar tidak terjadi sebuah kontradiksi budaya. Konsep amanat agung tidak lagi diimplemetasikan dalam suasana yang sudah berlalu, melainkan pada tatanan sekarang di mana gereja sedang bergumul pada budaya yang tercipta oleh zamannya. Proses dan implementasi amanat agung yang sesuai Matius 28:19-20 dimengerti secara substansial dan diaktualisasikan dalam konteks masa yang sedang berubah, dan menemukan bentuknya pada era digitalisasi sekarang ini. Artinya, amanat agung harus dipahami dalam konteks dan konsep era digital. Implikasi dari amanat agung sejatinya terjadi pada pelayanan-pelayanan yang tidak hanya sekadar berkutat pada kegiatan penginjilan belaka, karena gereja juga perlu melakukan fungsi yang lain. menekankan adanya pengembangan karunia dalam melayani sesuai dengan tantangan dunia di mana gereja berada. Gereja perlu melakukan semacam reposisi pemikiran kepada warga gereja atau jemaat yang dilayani. Sehingga dalam capaiannya, gereja tidak monoton untuk mengaktualisasikan esensi amanat agung tersebut.[1]

Ada beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan pada konsep amanat agung dalam Matius 28:19-20, yakni beberapa kata kerja, seperti: pergi, memuridkan, membaptis dan mengajarkan. Kata-kata kerja ini menjadi semacam indikator dalam upaya mengimplementasikan atau melaksanakan kegiatan amanat agung itu sendiri. Artinya, amanat agung tidak boleh sekadar dilaksanakan sebatas kegiatan penginjilan, namun sebuah rangkaian pelayanan yang di dalamnya memuat kegiatan penginjilan.

Kata pergi dalam Matius 28:19 harus dimaknai sebagai sebuah permulaan aktivitas dalam pemuridan. pergilah yang dikaitkan dengan kegiatan penginjilan, Pergi tidak hanya dimaknai dengan pergi ke suatu tempat atau daerah, melainkan bergerak dan membuat aktivitas. Beranjak dari keadaan sekarang, dan buatlah sebuah aktivitas dengan kreativtias tentunya, untuk memulai sebuah kegiatan selanjutnya, yakni pemuridan. Pergi adalah perintah atau amanat agar para murid, di masa yang sekarang membuat sebuah terobosan atau aktivitas untuk pemuridan. Namun juga harus tetap memaknai pemahaman dasarnya, yakni pergi ke sebuah tempat atau mengunjungi sebuah daerah. Hanya saja pergi mengunjungi daerah-daerah tertentu tidak lagi harus dalam konsep masa lalu, sampai dan ada di tempat yang ingin dituju. Teknologi yang semakin maju telah membuat jarak semakin dekat dan makin mudah mengunjunginya. Akses ke segala tempat tidak lagi sesulit masa lalu, di mana orang harus ada di tempat itu. Orang-orang dapat mengunjungi daerah-daerah yang jauh dengan bantuan teknologi, terutama lewat layanan internet. Perintah pergi untuk orang-orang yang ada pada masa yang dikenal dengan era digitalisasinya berarti juga mengunjunginya lewat bantuan teknologi digitalnya. Gereja bisa hadir di mana saja merambah setiap tempat dan wilayah di seluruh nusantara, bahkan dunia untuk memberikan proses penginjilan dan pemuridan. Bagian terakhir dari hal ini adalah mengajar yang tercantum dalam Matius 28:20 dan ajarlah mereka melakukan sesuatu yang kuperintahkan kepadamu dan di kuatkan dengan frasa perintah dan babtislah mereka Matius sendiri akhirnya melukiskan praktik misionaris yang dilakukan Yesus dan para murid pada jamannya dan berlaku seterusnya dalam konsep: “mengutus”, “Pergi’’, “Memberitakan”, “Menyembuhkan”, “Mengusir roh-roh”, “Mendamaikan”, “Bersaksi”, “Mengajar”, dan menjadikan “Murid.” Dengan konsep-konsep inilah orang Kristen menemukan identitas sejati apabila mereka terlibat dengan misi.

Dalam konteks penginjilan di dalam Perjanjian baru, gereja mengambil peran yang sangat penting untuk melakukan penginjilan dan pemuridan ini. Konsep Gereja Misioner harus dilaksanakan oleh setiap gereja sebagai bentuk panggilannya di dalam dunia. Walaupun demikian, penginjilan dan pemuridan harus dipahami dengan sebuah paradigma yang tepat. Yang memerintahkannya adalah Allah sendiri dan manusia sebagai pelaku misi.

Gereja saat ini ada dalam sebuah dunia yang memasuki era digital. Pengertian era digital tidak lepas dari konsekuensi dari kemajuan teknologi digitalisasi yang telah mengubah banyak aspek hidup manusia. Digitalisasi adalah proses di mana semua bentuk informasi baik angka, kata, gambar, suara, data, atau gerak dapat dengan mudah terakses tanpa batasan waktu dan tempat.

LATAR BELAKANG

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, jumlah penduduk Indonesia mencapai 271,35 juta jiwa hingga Desember 2020. Rinciannya, 137,12 juta jiwa merupakan laki-laki, sedangkan 134,2 juta jiwa adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 131,79 juta jiwa atau 55,94% penduduk Indonesia berada di Jawa. Proporsi penduduk Indonesia yang berada di Sumatera mencapai 21,73%. Sebanyak 7,43% penduduk Indonesia berada di Sulawesi. Kemudian, 6,13% penduduk Indonesia berada di Kalimantan. Di Bali dan Nusa Tenggara, proporsi penduduk Indonesia tercatat mencapai 5,57%. Sedangkan, proporsi penduduk Indonesia di Papua dan Maluku masing-masing mencapai 2,02% dan 1,17%. Data penduduk yang dimiliki Kemendagri merupakan sinkronisasi dari hasil Sensus Penduduk 2020 dengan data administrasi kependudukan (Adminduk). Jika dibandingkan dengan hasil sensus, data penduduk milik Kemendagri lebih besar 1,14 juta jiwa.[2]

lima tahun terakhir, penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) oleh rumah tangga di Indonesia menunjukkan perkembangan yang pesat. Persentase penduduk yang menggunakan telepon selular terus mengalami peningkatan, hingga pada tahun 2019 mencapai 63,53 persen. Pertumbuhan penggunaan telepon selular ini diikuti pula oleh pertumbuhan kepemilikan komputer dan kepemilikan akses internet dalam rumah tangga yang mencapai angka 18,78 persen untuk kepemilikan komputer dan 73,75 persen untuk kepemilikan akses internet dalam rumah tangga. Penggunaan internet juga mengalami peningkatan selama kurun waktu 2015—2019, yang ditunjukkan dari meningkatnya persentase penduduk yang mengakses internet pada tahun 2015 sekitar 21,98 persen menjadi 47,69 persen pada tahun 2019. Sebaliknya kepemilikan telepon tetap kabel dalam rumah tangga mengalami penurunan dari tahun ke tahun, pada tahun 2015 persentase rumah tangga yang memiliki/menguasai telepon kabel sekitar 4,01 persen, turun menjadi 2,09 persen pada tahun 2019. Pada tahun 2015, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas yang pernah mengakses internet dalam tiga bulan terakhir sekitar 21,98 persen dan meningkat menjadi 43,51 persen pada tahun 2019.[3]

Kehadiran ponsel pintar, tablet, komputer, hingga konsol game yang kian populer mengubah kebiasaan anak usia lima hingga 16 tahun. Lembaga riset Childwise yang berbasis di Inggris melakukan riset dan mengungkapkan bahwa anak masa kini rata-rata menghabiskan waktu 6,5 jam per hari untuk beraktivitas dengan gadget-nya.
Kini di tahun 2015 rata-rata waktu yang terbuang tersebut telah tumbuh lebih dua kali lipat menjadi 6,5 jam. Anak remaja laki-laki adalah yang paling banyak menghabiskan sekitar 8 jam per hari untuk bermain gadget, sementara anak perempuan berusia delapan tahun menghabiskan 3,5 jam. Sementara di tahun 2009 lalu, riset Childwise menunjukan rata-rata mereka menghabiskan 6 jam di depan layar dan sepertiga responden menyatakan mereka tak bisa hidup tanpa perangkat komputer.
“Perbedaan terbesar dari era 1990-an adalah televisi dan majalah menjadi satu-satunya media bagi anak-anak untuk terhubung dengan dunia luar. Kalau sekarang sudah ada perangkat yang jauh berbeda, seperti tablet, ponsel, konsol game, dan mereka jadi lebih menghabiskan waktu untuk itu hal tersebut merefleksikan adanya budaya baru yang telah muncul di mana kehadiran gambar dianggap sebagai cara lebih menarik untuk menunjukan suasana hati atau aktivitas.[4]


Jika kita melihat data jemaat Tuhan di dalam gerejawi pada masa kini adanya pembagian kelompok yaitu Anak-anak, Pemuda, dan Lansia. Dan yang paling relevan dan mengikuti perkembangan zaman secara khusus era digitalisasi adalah anak-anak dan pemuda yang dimana mereka sangat tertarik dengan dunia digitalisasi dan menghabiskan waktu dan hari-harinya bersama dengan gadget-nya.
Sebagai kunci permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana memanfaatkan peluang bonus demografi dengan pelayanan misi gereja di era digitalisasi yang berdampak pada pertumbuhan gereja baik secara kualitas maupun kuantitas. Akankah gereja melihat sebagai sebuah peluang dan meningkatkan program pelayanan misi di era digitalisasi ini?. Kerangka konseptual untuk permasalahan tersebut adalah sejauh mana bonus demografi dapat dimanfaatkan sebagai peluang pelayanan misi gereja dikalangan kaum Milenial dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan gereja.

DASAR PEMIKIRAN

Perkembangan teknologi turut mempengaruhi gereja di dalam melaksanakan penginjilan dan pemuridan sebagai bentuk implementasi dari Amanat Agung. Untuk itu gereja perlu melakukan semacam reposisi pemikiran kepada setiap anak Tuhan melaksanakan program penginjilan dan pemuridan di era digital ini. harus dipahami telah mengubah banyak aspek hidup manusia, dan tanpa mengabaikan indikator kegiatan dalam melaksanakan Amanat Agung. Sehingga penginjilan dan pemuridan membuat jarak semakin dekat dan semakin mudah untuk di kunjungi. Melalui akses internet kita dapat hadir di tempat dan wilayah di seluruh nusantara bahkan dunia. Sehingga gereja lebih fleksibel dan dapat menjawab kebutuhan penginjilan dalam situasi sulit sekalipun. Dengan mempertahankan konsep penginjilan sebagai sebuah landasan bagi iman Kristiani yang sangat berguna untuk membangun hubungan dengan orang-orang dan berbagi semangat dengan cara yang bijaksana dan menyenangkan sebagai Juru Slamat serta menjadi murid yang rela menyangkal diri, memikul salib, dan melayani Dia.[5]

Era Digitalisasi memaksa gereja melakukan perubahan strategi dalam melakukan penginjilan dan pemuridan, karena itu perlu adanya cara melaksanakan amanat agung dengan menerapkan pola-pola baru. Juga turut berubah mengikuti bentuk pergeseran dari sisi tradisional ke arah sisi cerdas dalam era digital yang baru. Perkembangan teknologi turut mempengaruhi gereja di dalam melaksanakan penginjilan dan pemuridan sebagai bentuk implementasi dari Amanat Agung. Beberapa strategi dalam mengkomunikasikan pesan Injil dapat dilakukan guna menggiatkan pelayanan penginjilan yang efisien dan efektif, melalui metode media digital antara lain melalui khotbah live streaming, rekaman video, Facebook, Instagram, Zoom dan tatap muka. Selain itu, dengan media digital gereja mampu melayani jemaat dengan tidak terbatas ruang dan waktu serta memberikan peluang kepada gereja untuk melakukan penjangkauan jiwa di mana pun mereka berada. Dalam kondisi saat ini Gereja dan komunitas penginjil tidak dapat terlepas dari penggunaan media sosial digital, perubahan era digital. Penginjilan melalui media digital harus dijalankan secara baik dan teratur seperti contoh teologi siber mengatakan digital terkoneksi ke seluruh tempat dan memperluas relasi walaupun tidak secara tatap muka langsung. Media digital membawa model dan gaya baru dalam penginjilan dan berdakwah. Melalui peran media digital Gereja mampu melayani jemaat dengan tidak terbatas dengan ruang dan waktu dan memberi peluang kepada gereja untuk melakukan penjangkauan jiwa di mana pun mereka berada. Untuk itu Gereja perlu menggunakan media digital untuk menjangkau jiwa jiwa sehingga melalui media digital pemberitaan Injil dapat sampaikan ke seluruh pelosok . [6]

DASAR MASALAH

Melihat situasi kondisi saat ini banyak gereja yang mengalami tantangan secara khusus dalam pelayanan misi dimana gereja terhambat untuk melakukan penginjilan dan melaksanakan amanat agung dikarenakan pandemic melanda dunia, tetapi lewat tantangan tersebut muncul berbagai bentuk pelayanan melalui sosial media, baik bentuk KKR, Ibadah Live Streaming, Pemuridan dan pelayanan lainnya. Tetapi dalam sekelompok orang atau organisasi sangat memanfaatkan situasi ini memperluasan pelayanan yang mengarah ke digitalisasi,  tetapi tidak sedikit yang mengecap bentuk ibadah yang menggunakan social media dan melarang hal itu dan saling menyerang dan menyalahkan, ada banyak jemaat juga yang merasa tidak terberkati bahkan tidak merasa nyaman untuk mengikuti kegiatan ibadah online, menganggap ibadah itu tidak lagi sacral dan gampangan. Melihat latar belakang pengguna social media dan orang-orang yang mengakses internet sudah seharusnya gereja juga hadir disana menyediakan konten-konten yang menarik yang bisa mencuri perhatian banyak umat Tuhan sambil melaksanakan amanat agung kepada seluruh umat manusia. Dalam setiap era pasti berbeda tantangannya dan berbeda pula metode yang akan dilakukan untuk penjangkauan umat Tuhan.

METODOLOGI

Ini merupakan sebuah penelitian kualitatif-deskriptif yang menjelaskan konsep amanat agung dalam Matius 28:19-20 dengan sebuah latar depan yang berbeda dengan apa yang ada di masa lalu, di mana menjadi latar belakang nas itu. Perkataan Yesus di masa awal peradaban Masehi tidak selalu harus dipahami seperti pada masanya, karena setiap peristiwa dan teks tidak lepas dari konteks yang melingkupinya. Para pembaca perlu memahami adanya sebuah benang merah dari masa nas tersebut lahir hingga dilakukan pada masa kini. Sebuah pendekatan analisis kata dan konsep digunakan untuk menjelaskan dan memahami kata-kata kunci sebagai indikator amanat agung dalam nas tersebut. Kata-kata dalam pola imperatif, seperti: “pergilah”, “jadikanlah…murid”, “baptislah”, dan “ajarkanlah” menjadi indikator sekaligus kata kunci dalam memahami amanat agung secara utuh. Amanat agung bukan hanya sekadar pergi menginjil ke semua tempat, namun juga tentang bagaimana memuridkan dan mengajarkan. Amanat agung harus dipahami dalam semua konteks itu. Keempat kata kunci itu harus dijelaskan secara utuh pada konteksnya dan menerapkan pemahaman itu dalam kekinian sehingga amanat agung tidak dipahami secara parsial. Analisis kata ini digunakan untuk mengerti konsep amanat agung, baik secara gramatikal maupun teologisnya, sehuingga tidak harus kaku pada satu proses saja dalam memahami amanat agung.

Kata “pergilah” dalam ayat 19 menggunakan kata Yunani yakni “poreuomai”, yang secara harafiah berarti “pergi”, berjalan pada umumnya. Kata inilah yang umumnya diartikulasikan sebagai sebuah bentuk kegiatan yang pergi ke daerah-daerah tertentu, wilayah yang belum terjangkau Injil untuk melakukan kegiatan penginjilan. Menarik, bahwa kata pergi dalam ayat 19 di Alkitab Terjemahan Bahasa Indonesia (ITB) merupakan konsekuensi dari ayat sebelumnya. Mengawali ayat tersebut dengan frasa “karena itu”, seakan memberikan indikasi bahwa kalimat selanjutnya disebabkan oleh kalimat sebelumnya. Ini berarti ayat 18 merupakan alasan untuk melakukan ayat 19. Meskipun frasa “karena itu” tidak mewakili kata apa pun dalam bahasa Yunaninya di ayat 19, namun hal tersebut tidak terlalu mengganggu tatanan yang ada di ayat tersebut

Terjemahan Bahasa Inggris seperti KJV dan NIV menggunakan kata yang serupa, yakni “therefore”, yang berarti sama “karena itu”. Matius 28:18 merupakan sebuah pernyataan Yesus, bahwa kepada-Nya telah diberikan segala kuasa, dan ayat selanjutnya dianggap sebagai tindakan lanjut dari sebuah pernyataan yang muncul dalam ayat 18 tersebut. Namun demikian, ada atau tidaknya preposisi tersebut, tidak boleh mengubah makna atau prinsip dalam ayat tersebut. Tentunya kata kunci awal ini berperan untuk memberikan pemahaman kepada pembacanya untuk melakukan apa. Kata kunci kedua, “jadikanlah” semua bangsa murid-Ku, atau yang biasa diwakili dengan kata yang lebih sederhana “muridkanlah”, memberikan pengertian bahwa pendengar pada saat itu harus melakukan sebuah kegiatan pemuridan. Kata kerja pertama memberikan maksud untuk apa seseorang pergi, yakni melakukan pemuridan. Kata kuncinya adalah pemuridan, sehingga proses ini yang harus mendapatkan artikulasi dan implikasi tindakan pelayanan dalam konteks kekristenan atau gereja saat ini. Mungkin bisa dikatakan ini jugalah yang menjadi inti dari amanat itu sendiri, melakukan pemuridan.

Kata “pemuridan” dalam bahasa Yunani memiliki arti mengajar, yang berarti hal ini berkaitan dengan dunia pendidikan (edukasi). Kegiatan pemuridan melibatkan dua pihak, guru dan murid , sehingga proses tersebut dapat terlaksana untuk mewujudkan aktivitas amanat agung. Penginjilan dalam hal ini harus dilihat sebagai bagian dari proses pemuridan, atau sesungguhnya inilah esensi dari istilah “penginjilan” yang digunakan selama ini. Pastinya, amanat agung harus dilihat dari kacamata yang lebih komprehensif dari sekadar kegiatan penginjilan, di mana pelayanan memberikan wadah untuk mengekspresikannya. Kata kunci berikut adalah “baptislah”, sebagai bentuk kelanjutan dari sebuah proses pemuridan. Kata “baptis” tidak menunjukkan teknis atau metode seperti apa, karena murid-murid atau para pendengar saat itu mengerti bagaimana harus menindaklanjuti perintah itu. Yang penting di sini adalah proses baptisan terjadi setelah adanya pemuridan. Bisa saja proses pemuridan di sini belum sepenuhnya selesai, karena sejatinya pemuridan terjadi secara terusmenerus, sehingga baptisan tidak dianggap sebagai akhir dari proses tesebut. Karena setelah itu ada proses berikutnya, yaitu “ajarkanlah”, sebagai kata kunci berikut. Kata “ajarkan” merupakan sebuah bentuk yang mengikuti pemuridan dan baptisan. Artinya, mereka yang baru menjadi murid mendapatkan pengajaran (indoktrinasi) setelah melewati proses dijadikan murid dan dibaptis.

Pendekatan analisis kata untuk memahami konsep dan prinsip amanat agung dengan mempertimbangkan keadaan zaman yang berbeda dari penerima pertama dari amanat tersebut dengan keadaan sekarang di mana gereja menerima mandat itu menjadi sebuah pembahasan dalam penelitian ini. Itu sebabnya metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan konteks penerima pesan atau amanat itu dan mengaktualisasikannya dalam konteks kekinian, yaitu dalam era digital.[7]

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pelayanan Digital dan Digitalisasi

Pelayanan Konsep pemuridan di masa era digital tidak lagi harus sekonvensional dulu, di mana pada saat ini orang dengan mudah dihubungkan (sekaligus dipisahkan) oleh teknologi digital. Pemuridan dapat dilakukan melalui pengadopsian atau pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan gereja serta dunia pelayanan. Gereja tidak sekadar mengikuti arus namun lebih kepada memanfaatkan sebagai media. Setiap zaman memiliki kebutuhannya masing-masing, sehingga gereja harus dapat membacanya sebagai kesempatan untuk menciptakan peluang dalam melayani. Jadikan murid atau memuridkan berarti menciptakan sebuah proses dialogis antara seorang guru dan murid; ada komunikasi yang tentu menjadi ikon kehidupan di era digital. Pemuridan di era digital tidaklah perlu dipaksakan dalam bentuk-bentuk konvensional. Gereja harus fleksibel dan update, berupaya melakukan digitalisasi pelayanan, sehingga dapat menjawab sebuah kebutuhan rohani di sana.

Pergilah dapat dimaknai secara konteks era digital sebagai bentuk mengarungi (browse) samudra atau dunia internet. Gereja harus cepat mejawab tantangan dan kebutuhan ini, karena jika tidak akan tertinggal dengan gerak atau percepatan dunia yang semakin melaju. Pergilah bermakna pada bagaimana gereja saat ini melakukan kegiatan pemuridan dengan menghampiri dunia melalui kemajuan teknologi yang ada. Selain itu, komponen lain dalam amanat agung seperti pengjaran mendapatkan porsi yang signifikan dalam penggunaan kemajuan teknologi dan digitalisasi. Pelayanan pengajaran tidak lagi menggunakan format konvensional yang hanya berkutat pada pola printing-oriented melainkan menggunakan produk-produk digitial yang sudah dapat dirasakan menyentuh seluruh aspek hidup manusia. Kemajuan teknologi harus dibarengi dan diimbangi dengan program-program aplikatif yang dapat memuat nilai-nilai edukasi iman Kristen. Amanat agung Matius 28:18-20 tidak lagi dipahami sesempit hanya melakukan tindakan penginjilan semata, sekalipun penginjilan pun dapat mengadopsi penggunaan teknologi digital sebagai media penyampaian berita baik. Orang-orang Kristen harus mampu bersinergi dengan kekuatan jemaat awam yang pakar dalam bidang teknologi, untuk membangun sebuah bentuk pelayanan yang menggunakan teknologi ini. Gereja dapat menggandeng semua kekuatan jemaat yang memiliki basis pengetahuan dan ilmu (kemampuan) penggunaan teknologi untuk membangun bahkan menciptakan bentuk-bentuk pelayanan yang berorientasi pada teknologi digital. Daerah-daerh perbatasan bahkan hingga pelosok dan pedalaman bukan lagi menjadi wilayah yang asing terhadap internet. Jangkauan yang begitu luas telah memberikan sebuah peluang terbentuknya sebuah budaya masyarakat yang tidak lagi berorientasi pada alat-alat tradisional, bahkan dalam konteks beribadah. Jangkauan internet yang telah menembus semua sekat-sekat yang sulit dijangkau membuat pelayanan dalam rangka mengaktualisasikan amanat agung dapat dilakukan dengan maksimal. Pada akhirnya, aktualisasi amanat agung dalam dunia kemajuan teknologi dan era digitalisasi harus memperhatikan esensi dari konseptual amanat agung tersebut, dan mempertimbangkannya dalam berbagai konsekuens perubahan zaman. Karena Alkitab berlaku bagi setiap zaman, namun tidak memaksakan sebuah konsep yang kontra perubahan dan pergeseran zaman di mana gereja ada dan hidup. Artinya, nilai-nilai konseptualisasi yang diejawantah dari teks masa lalu tetap harus mempertimbangkan pergeseran perubahan komponen zaman.[8]

Tabel: Solusi Penginjilan dan pemuridan menggunakan sarana digital

Tipe kegiatan Penginjilan yang biasanya (berdasarkan pengalaman pribadi)Melaksanakan penginjilan dan pemuridan dengan digital
Kotbah langsung ke jemaat secara tatap mukaKotbah dengan metode Live Streaming
Penginjilan langsung secara tatap muka secara pribadiPengiriman konten-konten digital melalui WhatsApp
Penginjilan di muka umumPemuatan konten-konten penginjilan lewat Facebook, Instagram
Penginjilan Melakukan KKR Tentang Keselamatanlive streaming di FB dan Youtube
Melakukan LawatanLawatan Menggunakan fasilitas video call di WhatsApp, Instagram atau Line
Memberikan layanan sosialMengirimkan paket-paket bantuan sosial melalui jasa pengiriman online
Kegiatan pemuridan dengan modul-modul dan tatap mukaMenggunakan fasilitas video call di WhatsApp, Instagram atau Line
Seminar Pembinaan Iman Kristen muda mudiMenyelenggarakan kelas zoom untuk pembimbingan muda-mudi
Memberikan kesaksian akan kebaikan TuhanMenggunakan fasilitas video call di WhatsApp, Instagram atau Line
Memberikan Pelayanan KonselingMenggunakan fasilitas video call di WhatsApp, Instagram, Instagram atau Line

Transformasi Bonus Demografi dan Pertumbuhan Gereja

Menentukan target penginjilan atau misi gereja dapat dilakukan secara demografis. Menentukan sasaran penginjilan secara demografis akan memudahkan gereja menjangku sasaran karena gereja akan mengetahui karakter masyarakat, mengetahui informasi jumlah masyarakat. Rick warren berpendapat bahwa fakta demografis dapat menjadi sumbangsih bagi penginjilan, fakta-fakta demografis yang dapat digunakan adalah pertama, Usia (berapa banyak orang yang terdapat dalam setiap kelompok usia?), kedua, status pernikahan (berapa banyak orang dewasa yang masih lajang (belum Menikah)? Berapa banyak yang sudah menikah?), ketiga, pendapatan (berapa gaji rata-rata yang diperoleh golongan menengah dan yang di bawah menengah?), keempat, Pendidikan (apa tingkat pendidikan dari masyarakat?), kelima, Pekerjaan (pekerjaan macam apa yang paling banyak dilakukan?). fakta tersebut akan mempengaruhi cara gereja melayani orang dan cara gereja menyampaikan kabar baik. Jadi gereja yang menentukan sasaran atau target penjangkuan melalui pendekatan fakta-fakta demografis adalah gereja yang mengunakan peluang yang ada.lebih dari pada itu di era digitalisasi kita juga harus memahami dari kelompok usia, pekerjaan, tempat tinggal, pendidikan dalam mengakses tehnologi guna untuk kemajuan dan penjaungkauan umat Tuhan melalui tehnologi di era digitalisasi. Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil sebuah kesimpulan, gereja adalah setempat yaitu berbicara gereja sebagai organisasi rohani yang menentukan arah organisasi pada pertumbuhan secara dinamis melalui pelayanan misi pengabaran Injil kepada semua bangsa dengan memanfaatkan segala peluang yang Tuhan berikan salah satunya adalah mengunakan data demografi kependudukan untuk menentukan sasaran penginjilan dan tehnologi menjadi sarana yang tepat untuk pengembangan, perluasan gereja dan melaksanakan amanat agung.[9]

KESIMPULAN

Amanat agung bukanlah sebuah konsep yang harus dimaknai dengan kegiatan penginjilan senantiasa, melainkan sebuah paket atau fase di mana pemuridan menjadi inti dari serangkaian kegiatan tersebut. Sementara itu amanat agung yang diungkapkan Yesus pada masa lalu harus dimaknai dalam sebuah konteks yang sesuai dengan zaman di mana gereja berada. Pada masa era digital seperti ini, maka mengimplementasikan amanat agung adalah dengan menggunakan teknologi tersebut sebagai hamba untuk menyampaikan tema-tema pemuridan dan pengajaran sehingga setiap orang dapat mengenal Kristus melalui kemajuan digital yang ada.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *